*) ilustrasi oleh Mojok.co.
Dunia musik Indonesia kembali dikejutkan dengan berpulangnya Didi Kempot pada Selasa (5/5) lalu. Dengan musiknya, pria bernama asli Dionisius Prasetyo ini beberapa tahun belakangan semakin dikenal karena tidak hanya digandrungi oleh orang-orang tua dan “simpatisan” budaya Jawa, namun juga kalangan milenial dan generasi Z. Dirinya tidak lagi konser di bus-bus kota, seperti awal kedatangannya ke Jakarta, melainkan tampil di festival-festival musik papan atas Indonesia. Lagunya bahkan diaransemen ulang oleh banyak penyanyi muda dan dimainkan di tempat-tempat hiburan khas anak muda.
Pakde—begitu sapaannya—dikenal bukan hanya karena liriknya yang mendayu dan membuat pendengarnya ambyar, namun juga karena dirinya telah berjasa mengangkat kembali salah satu kesenian Jawa ke muka publik. Mengejutkan tentunya, karena ternyata lagu berbahasa tradisional bisa bersaing dengan lagu berbahasa Inggris dan dapat go international.
Melihat fenomena ini, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) mengadakan diskusi pelestarian dengan tema “Didi Kempot dan Pasang Surut Kesenian Jawa”. Diskusi yang dilaksanakan pada Rabu, 13 Mei 2020 dan disiarkan langsung melalui aplikasi Zoom dan kanal Youtube BPPI Heritage itu diisi oleh Agus Marsudi (Arsitek, sutradara ketoprak, dan penggiat budaya) dan dipandu oleh M. Hasbiansyah Zulfahri (Arkeolog, Direktur Eksekutif BPPI, dan penikmat kesenian Jawa).
Sebelum memulai acara, Pak Gusmar—panggilannya—mengawali dengan sebait lagu “Pamer Bojo” dari Didi Kempot dan diiringi alunan gitar yang sangat nyaring di telinga. “Awal kemunculan lagu Jawa ‘kan tidak seperti ini,” ujarnya di tengah diskusi. Menurutnya, lagu-lagu serta ragam kesenian Jawa lainnya memang mengalami perubahan dari masa ke masa. Didi Kempot merupakan salah satu orang yang berhasil membawa perubahan tersebut ke arah yang lebih baik. Meski Pakde telah berhasil “menyelamatkan” musik “Jowo”, apakah itu sesuai dengan ajarannya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus melihat kembali bagaimana lagu-lagu Jawa terbentuk. Mulanya kesenian musik Jawa dimainkan menggunakan alat musik yang sederhana, kemudian berkembang menggunakan gamelan. Sebelum campursari muncul, telah dikenal genre musik langgam Jawa, yang berasal dari gending Jawa dan diiringi oleh alat-alat musik keroncong. Waldjinah dinobatkan menjadi ratu "Kembang Kacang"—judul lagu—pada kompetisi menyanyikan lagu tersebut. Kelahiran campursari di tahun 1950-an tidak dapat lepas dari Radio Republik Indonesia (RRI), dan organisasi URIL (Unit Moril) atau TJABAD (Tjabang Adjutant Djendral) di lingkaran tentara Indonesia. Menurut Rahayu Supanggah dalam jurnal Asian Music, Vol 34, No 2, tahun 2003, mereka memiliki kelompok karawitan, termasuk orkestra keroncong dengan musisi terbaik saat itu. Menurutnya, penggagas musik ini adalah Ki Sindusawarno, salah satu maestro dalam seni karawitan Jawa dan Kelly Puspito adalah komponis keroncong asal Semarang.
Di akhir tahun ‘80-an, mendiang Anto Sugiartono, alias Manthous, mulai mempopulerkan musik campursari ke publik, bersama dengan Pakde. Walau begitu, sebagian orang menganggap bahwa musik yang dibawakan oleh Pakde kebanyakan merupakan genre pop Jawa, meski ada sebagian merupakan campursari. Pembedanya adalah jika pada campursari alat musik yang digunakan adalah instrumen gamelan lengkap dengan tambahan instrumen modern berupa keyboard atau gitar. Sedangkan pop jawa memiliki instrumen yang sama dengan musik pop modern biasa, kecuali pada musik dan bahasa yang digunakan.
Perubahan tersebut juga terjadi dalam kesenian wayang kulit. Salah satu yang berperan besar di dalamnya adalah Ki Narto Sabdo. Akan tetapi, perubahan yang terjadi juga tak luput dari kritik pada masanya, karena dianggap keluar dari pakem yang ada. Perubahan itu termasuk durasi penampilan, hingga posisi duduk penonton maupun sinden.
Demikian pula yang terjadi dengan wayang wong (Orang). Semula wayang wong hanya menjadi konsumsi kalangan istana, akan tetapi ketika istana mengalami kesulitan finansial, wayang wong diizinkan untuk dipentaskan ke luar istana.
Jika dilihat, perubahan-perubahan yang terjadi dalam kesenian Jawa memang umum terjadi. Perubahan tersebut tidak hanya pada hal-hal kecil, namun juga pada meluasnya ragam konten budaya yang ditampilkan, baik konten cerita, dekorasi, maupun musik. Perubahan ini tidak seharusnya dilihat sebagai hal yang negatif
Belajar dari Didi Kempot dan juga Ki Narto Sabdo, nampaknya kita memang harus membiarkan para seniman Jawa khususnya, untuk berinovasi dalam karya-karyanya. Selain karena mereka yang paling paham seperti apa cara yang cocok untuk mencurahkan “isi hati” melalui karyanya, kesenian nampaknya perlu menjadi dinamis, agar lebih mudah diterima oleh masyarakat di setiap masanya, tanpa melupakan orisinalitasnya. Terlepas dari apapun genre lagu Pakde, beliau tetap dapat dianggap sebagai salah satu “penyelamat” kesenian Jawa di era modern ini. Pakde berhasil menarik perhatian muda-mudi dengan liriknya yang bikin ambyar, dengan musik khas Jawanya. (ISK)
Penafian/disclaimer: penggunaan kata “Jawa” dalam tulisan di atas merujuk pada kebudayaan Jawa yang berasal dari Jawa Tengah dan sekitarnya. Kata “Jawa” digunakan untuk mempersingkat maksud penulis