Buku berseri ini mengungkap sejarah dan kesinambungan budaya kerajaan-kerajaan kuno di Minangkabau sejak pertengahan abad Masehi. Data yang digunakan melingkupi naskah lokal, tutur lisan, tinggalan arkeologis, arsip Belanda serta didukung kajian etnografi dan toponimi. Jambu Lipo adalah kerajaan pertama yang kami teliti dan tulis bukunya dari tahun 2021 hingga 2023.
Mengacu pada sumber naskah lokal yang disandingkan dengan tinggalan prasasti, diketahui bahwa Kerajaan Jambu Lipo pertama kali berdiri di hulu Sungai Batanghari pada awal abad ke 13 Masehi. Sejarahnya bermula ketika seorang Mahaguru datang dari negeri yang jauh di seberang lautan (Daratan India Kuno) ke kawasan hulu Batanghari.
Meski didirikan atas titah Srimaharaja Tiga Lareh (Tribuana Mauliwarmadewa), tapi posisi Jambu Lipo dan kerajaan-kerajaan lainnya terhadap Malayu Kampung Dalam Tiga Lareh (Malayupura) cukup menarik. Mereka bukanlah kerajaan yang merdeka, tapi tidak bisa juga disebut sebagai kerajaan vasal sepenuhnya oleh Malayupura; baik yang masih berpusat di Dharmasraya maupun setelah dipindahkan ke Tanah Datar oleh Dewang Palakama Indra Dewana (Adityawarman). Hal tersebut terlihat dari pembagian wilayah, pemungutan emas mana (upeti) dan lembaga raja-raja.
Dalam perjalanan sejarahnya, naskah menceritakan bahwa Kerajaan Jambu Lipo berperan sebagai salah satu pemasok komoditas dari hulu Batanghari untuk kemudian diperdagangkan hingga ke Negeri Campa. Tapi, pada abad-abad selanjutnya, bangsa asing mulai masuk dan silang sengketa pun sering terjadi di antara masyarakat. Akibatnya, Jambu Lipo hanyalah satu dari belasan kerajaan di Minangkabau yang menghadapi carut marut perebutan kekuasan kala itu.
Setelah bertahan dari kehancuran akibat perang “basoso” dengan pasukan Ulu Tebo, Jambu Lipo sampai pada titik terakhir mempertahankan diri sebagai kerajaan berdaulat. Seperti halnya Pagaruyung, Kerajaan Jambu Lipo juga “dihapuskan” oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada pertengahan abad 19 Masehi. Raja Alam Jambu Lipo (Sutan Pondok) yang sempat diasingkan ke Pulau Jawa karena melawan Belanda harus berakhir diujung pedang algojo.
Meski tidak lagi berdaulat sejak pertengahan abad 19 Masehi, tapi lembaga raja dan para pembesar Jambu Lipo masih terus tersusun hingga kini. Kerajaan Jambu Lipo masih diwarisi oleh raja-raja yang baulu ka gunuang dan bamuaro ka lawuik (berhulu ke gunung dan bermuara ke laut). Adat rajo masih turun temurun, adat puti masih sunduik ba sunduik. Yang patah selalu tumbuh kembali, yang hilang selalu berganti. Pusako lamo baitu juo.
NB: Buku bisa didapatkan di Geria BPPI Jl. Veteran I No. 27 Gambir - Jakarta Pusat