Subak adalah organisasi petani pengelola irigasi yang bersifat sosio kultural dalam suatu kawasan sawah tertentu, memiliki sumber air, memiliki pura subak, dan bersifat otonom (Windia, 2016). Prasasti Sukawana (Kintamani, Bangli) tahun 882 menyebutkan lahan pertanian huma (sawah) dan perlak (ladang), sementara Prasasti Klungkung tahun 1071 dan Prasasti Pandak Bandung (Tabanan) tahun 1072 telah menyebutkan istilah Seuwak yang akhirnya dikenal sebagai Subak. UNESCO telah mengakui Subak menjadi World Heritage pada tahun 2012 sebagai “Saujana Budaya Provinsi Bali: Sistem Subak sebagai Manifestasi dari Filosofi Tri Hita Karana”. Saat ini, jumlah subak se-Bali adalah 1.599 subak, dengan luas sawah 76.000 ha. Jumlah ini berkurang 800 ha/tahun, dan Subak diprediksikan akan punah tahun 2030 apabila Subak terus termarjinalkan (Geria, 2019). Salah satu ancaman adalah perkembangan pesat industri pariwisata dan dinamika pembangunan tanpa keberpihakan pada kelestarian daya dukung lingkungan. Meskipun ada banyak upaya oleh pemerintah untuk melestarikan Subak, namun hal itu belum cukup untuk membendung degradasi sistem.
Berdasarkan kondisi ini, sangat penting adanya upaya yang terintegrasi antara para pelaku subak, pemerintah, dan masyarakat luas termasuk dunia usaha. Indonesian Heritage Trust atau Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) sejak tahun 2015 telah menyelenggarakan Sekolah Lapangan tentang Subak yakni Bali International Field School for Subak (BIFSS) yang dirintis atas kerjasama dengan Kyoto University, Jepang dan Pemerintah Kabupaten Gianyar. Tahun ini merupakan penyelenggaraan ke-5 yang diadakan di Kabupaten Karangasem dengan tema “Pusaka Saujana Subak, The Harmony Between Man, Nature, and The Creator”. Tujuan BIFSS adalah memahami signifikansi Subak untuk menjadi inspirasi bersama bagi kelestarian lingkungan, serta memberikan masukan atas berbagai tantangan dan ancaman terhadap kelestariannya melalui tukar pikiran bersama para pelaku subak dan peneliti dari berbagai bidang.