Kondisi/Informasi Umum
Benteng Keraton Buton dibangun pada masa kesultanan La Buke (Sultan VI). Benteng ini terletak di atas bukit, terbuat dari batu karang yang dicampur dengan kapur sebagai bahan perekat. Benteng ini panjangnya 2.740 meter dengan tebal 1-2 meter dengan ketinggian antara 2-8 meter. Bentuk benteng tidak seperti benteng pada umumnya, akan tetapi mengikuti bentang lahan sehingga bentuknya menyerupai huruf “Dal” dalam aksara Arab. Pandangan masyarakat setempat mengenai Keraton Buton selalu dikaitkan atau dihubungkan dengan unsur Islam. Hal ini dipengaruhi oleh aliran tasawuf yang masuk ke Buton pada abad ke-17 dan mencapai puncaknya pada abad ke-19.
Pada masa Kesultanan Buton kawasan Benteng Keraton Buton merupakan ibukota kerajaan. Setelah Indonesia merdeka hanya fungsi kekuasaanya yang hilang, fungsi sebagai permukiman tradisional dan tradisi yang berlangsung di era kesultanan masih bertahan. Kawasan ini kemudian menjadi reperesentasi sejarah dan peradaban Buton. Peninggalan zaman kesultanan masih bisa ditemukan pada kawasan permukiman tersebut, termasuk ruang publiknya. Benteng Keraton sebagai Ruang publik Yaroana Masigi merupakan salah satu peninggalan penting tersebut, tidak hanya karena obyek bersejarah di dalam area Yaroana Masigi tapi juga karena keberadaannya saat ini mewakili sejarah Buton. Penggunaannya yang mewadahi berbagai aktivitas budaya dimasa lampau hingga saat ini menjadikan ruang publik ini perlu untuk dilestarikan.
Kini peninggalan Kesultanan masih tampak megah seperti benteng Keraton dan tempat kuburan raja-raja atau Sultan berikut Sarana Hukumu dan kelembagaan mesjid agung Keraton. Terhadap bukti-bukti teknologi dari peradaban Buton antara lain meriam-meriam dengan berbagai ukuran jangkar maupun arsitektur bangunannya. Sebagai pusat Kerajaan/Kesultanan Buton agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik dibangunlah sebuah benteng yang terbuat dari batu yang dikerjakan oleh rakyat secara gotong royong. Benteng itu dikenal dengan nama Benteng " Keraton" yang mempunyai 13 Lawa dan yang menghitung 12 lawa sebagaimana yang tidak tampak sekarang adalah lawana kampebuni (pintu gerbang) dan 16 Baluara (Kubu pertahanan). Setiap Lawa dan Baluara diberi nama sendiri-sendiri dengan ditempatkan meriam-meriam pengawal. Nama-nama Lawa tersebut adalah : 1. Lawana Anto, 2. Lawana Rakia, 3. Lawana gundu-gundu, 4. Lawana LantongauSambali, 5. Lawana Melai, 6. Lawana TanailanduBurukene, 7. Lawana Wajo/Baria, 8. Lawana Kalau, 9. Lawana Katapi/uwedethe, 10. Lawana Waborobo, 11. Lawana Baluwu, 12. Lawana Wandailolo/Labunta, 13. Lawana Kampebuni (Pintu gerbang tersembunyi, karena melalui lawa inilah Arupalaka di bawah tempat persembunyiannya). Nama-nama baluara (kubu pertahanan) adalah sebagai berikut : 1. Baluarana Gama, 2. Baluarana Rakia, 3. Baluarana siompu, 4. Baluarana Gundu-gundu, 5. Baluarana Lantongau, 6. Baluarana Melai, 7. Baluarana waberongalu, 8. Godona Batu, 9. Baluarana Kalau, 10. Baluarana dete, 11. Baluarana Godona Oba, 12. Baluarana Katapi, 13. Baluarana Silea, 14. Baluarana waborobo, 15. Baluarana Barangkatopa dan 16. Baluarana Litao.
Sumber : Master Plan Benteng Keraton Buton 2017 |
Benteng Keraton sebagai ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis, dan bermakna (Carr,et all, dalam Ultra 2015). Sejalan dengan pendapat tersebut, ruang publik Kawasan Benteng keraton memiliki riwayat sebagai ruang yang mewadahi aktivitas demokrasi. Kerajaan Buton dengan raja pertama adalah seorang wanita bernama Wakaaka. Pengangkatan Ratu Wakakaa menunjukkan adanya hak dan kesempatan yang sama antar gender untuk menjadi pemimpin. Hal ini merupakan khas sistem demokrasi, dan ruang publik Yaroana Masigi menjadi ruang yang mewadahi aktivitas ritual pelantikan Ratu Wakaaka. Praktik demokrasi juga diaplikasikan pada pemilihan sultan. Sultan dipilih tidak didasarkan oleh garis keturunan melainkan melalui pemilihan musyawarah oleh para Patalimbona/Siolimbona yang berlaku sebagai dewan legislatif. Proses pelantikan juga tidak bersifat tertutup dan seluruh rakyat dapat menyaksikan pemimpinnya dilantik.
Benteng Keraton sebagai Ruang publik Yaroana Masigi merupakan bagian paling inti dari kawasan Benteng Keraton Buton. Berada di tengah-tengah permukiman, berupa halaman luas serupa dengan bangunan dan situs penting bersejarah yang berusia ± 300 tahun didalamnya, terdiri dari Masjid Agung Keraton, tiang bendera kesultanan, batu popaua (batu pelantikan sultan), bangunan baruga, makam Sultan Murhum yaitu sultan pertama yang memerintah, serta batu wolio. Obyek-obyek tersebut terkait erat dengan sejarah Kesultanan Buton dan akar budaya dari masyarakat Buton.
Karena merupakan area yang dipentingkan, perubahan signifikan yang terjadi pada ruang publik Yaroana Masigi dapat menjadi legitimasi rumah-rumah adat disekitar kawasan untuk berubah. Perkembangan zaman bukanlah hal yang buruk, hanya saja perlu disikapi dengan cermat bahwa zaman membutuhkan bukti-bukti budaya dan sejarah dari masa lampau sebagai bahan pembelajaran, karena tidak akan cukup jika hanya dipelajari dari buku dan dokumen tertulis namun perlu ada bukti fisik yang saling melengkapi. Sehingga untuk mencegah degradasi, ruang publik Yaroana Masigi perlu dilestarikan, mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya mengingat signifikansi obyek yang memuat unsur usia, kelangkaan obyek, sejarah, nilai budaya, dan bernilai arsitektur. Hal ini juga sesuai dengan makna pelestarian dalam Piagam Burra yaitu proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang ada terpelihara dengan baik sesuai situasi dan kondisi setempat.
Pelestarian ruang publik Benteng Keraton Buton sebagai ruang publik peninggalan Kesultanan Buton di Kota Baubau ini ditujukan untuk mengetahui karakter fisik, nilai sejarah dan signifikansi budaya, serta bagaimana upaya pelestariannya sebagai bagian dari unsur Saujana.
Karakteristik Fisik Eksisting sebagai Obyek Pendukung Saujana
Benteng Keraton sebagai bekas pusat pemerintahan pada masa kesultanan Buton masih memperlihatkan berbagai peningglalan sejarah yang dapat di saksikan sampai sekarang. Peninggalan-peninggalan itu berupa benteng tua, istana sultan, makam sultan, masjid tua, alat-alat kelengkapan kesultanan, arsip atau naskah-naskah masa kesultan dan beberapa tinggalan lainnya.
Ruang Publik berupa Yaroana Masigi berada di dalam kompleks Benteng Keraton Buton, yaitu benteng dengan panjang keliling 2.740m yang mengelilingi permukiman bernama Kerlurahan Melai. Kerlurahan Melai merupakan satu-satunya permukiman tradisional yang bertahan peninggalan Kesultanan Buton di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Eksistensinya sejak abad ke-15M. Merupakan kawasan yang pernah menjadi pusat kota serta pusat kekuasaan di zaman pemerintahan Kesultanan Buton dan menjadi embrio dari Kota Baubau. Secara fisik, ruang publik Yaroana Masigi merupakan sebuah kawasan/ area terbuka yang terdiri dari beberapa obyek/ bangunan bersejarah yang berkaitan erat dengan sejarah Kesultanan Buton yang mengitarinya berupa batu wolio, batu popaua, baruga, Masjid Agung Keraton, dan makam Sultan Murhum.
a. Yaroana (halaman)
Terletak ditengah-tengah di antara masjid, baruga dan batu popaua, dengan luasan ± 1000 m2 . Halaman ini telah ada sejak era pemerintahan Ratu Wakaaka di abad ke-13 berupa tanah kosong. Pada zaman kesultanan halaman ini dipergunakan sebagai ruang untuk mengumpulkan warga, mengabarkan sesuatu, ritual adat, menyambut tamu kesultanan, tempat prosesi pelantikan, mengumpulkan warga untuk melihat prosesi pelantikan. Sampai saat ini fungsi tersebut masih berlangsung. Secara fisik perubahannya adalah dari halaman berumput menjadi paving.
Foto Halaman Sekitar Mesjid (Sumber : Nur Ahsan 9 April 2020)
b. Batu Popaua (Batu Pelantikan Sultan)
Batu popaua (batu Pelantikan Sultan) terletak sekitar 30 meter di timur mesjid, berbentuk bulat memanjang (elips). Di bagian tengah batu terdapat lubang yang memanjang menyerupai tapak kaki manusia. Batu ini berukuran sekitar 50 cm X 35 cm. Disebut batu popaua (batu yang dipayungi) karena ditempat ini pelantikan dan pengambilan sumpah sultan diiringi dengan pemutaran payung kesultanan.
Batu Popaua merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan system kekuasaan kesu;tanan Buton, karena batu Popaua ini merupakan tempat pelantikan sultan. Batu Popaua disebut juga batu ponu karena bentuknya yang menyerupai punggung penyu, letaknya di depan Masjid Agung Keraton. Setiap raja/sultan Buton akan dilantik di tempat ini oleh patalimbona/siolimbona (dewan legislatif pada masa itu). Kondisi saat ini cukup terawat dimana sudah diberi pembatas disekelilingnya, disekitaran batu pelantikan ini juga sudah di lantai keramik yang sebelumnya hanya semen biasa, batu popaua juga sudah diberi pelindung berupa atap.
Foto Tempat Pelantikan Sultan (Sumber : Nur Ahsan 9 April 2020)
c. Batu Wolio (batu yigandangi)
Batu wolio berada di samping makam Sultan Murhum, batu setinggi ± 1m ini dapat mengeluarkan air pada waktu-waktu tertentu kecuali pada musim kemarau, yang dipergunakan untuk tempat membasuh atau memandikan para raja dan sultan yang akan dilantik. batu wolio diperkirakan telah ada bersamaan dengan periode keberadaan batu popaua . Akses terhadap batu wolio sudah terkelola dengan baik sehingga kondisinya fisiknya cukup baik dengan disediakannya pagar batu yang mengelilingi obyek.
Batu wolio yang terletak sekitar 10 meter di timur makam Sultan Murhum. Batu tersebut disebut yigandangi karena di tempat ini dilakukan pemukulan gendang pada malam sebelum pelantikan Sultan Buton agar air suci keluar untuk memandikan calon sultan yang akan dilantik keesokan harinya. Batu yigandangi merupakan tugu batu setinggi 1 meter, memiliki celah pada sisi luarnya. Menurut masyarakat setempat, di masa lalu terdapat mata air pada celah batu ini yang diyakini dapat menyembulkan air bila akan ada penobatan raja/sultan. Akan tetapi, pada masa sekarang celah pada batu itu tidak lagi mengandung air.
Makam sultan Murhum terletak di puncak bukit Lele Mangura. Sebelah tenggara mesjid, dengan luas sekitar 3 X 3 meter. Bangunan makam tidak memiliki atap, dikelilingi tembok yang dicat warna putih. Tembok makam berukuran sekitar 4 X 3 m, dan merupakan satu-satunya makam yang ditembok tinggi. Di sekitar makam terdapat pohon asam dan beberapa pepohonan besar sehingga lokasi itu teduh. Sultan Murhum merupakan raja ke VI dan Sultan Buton yang pertama. Berdasarkan beberapa sumber, Murhum dilantik menjadi sultan Buton I pada tahun 948 Hijriah dan wafat pada tahun 1584 Masehi. Lokasi makam Berada di sebelah timur masjid. Berada di dataran yang lebih tinggi. Jirat makam diperbaiki pada tahun 1989, dibuatkan sarana jalan yang menuju situs. Untuk mencapainya dapat menggunakan anak tangga yang disediakan. Ada anak tangga juga yang disediakan di samping makam untuk melihat sekeliling makam, namun tangga yang berada di samping makam kurang terawat, sehingga jarang digunakan.
Selain makam Sultan Murhum, terdapat pula beberapa makam Sultan Buton lainnya, namun tidak terawat dengan baik. Makam sultan-sultan Buton ini tersebar di benteng Keraton Buton, baik mengelompok maupun makam tunggal yang semuanya tidak beratap.
Foto Makam Sultan Murhum (Sumber: Nur Ahsan 9 April 2020)
e. Baruga
Baruga dibangun dimasa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanudin atau Laelangi, yaitu pada tahun 1610. Baruga pada masa pemerintahan Laelangi berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat untuk bermusyawarah juga para sultan untuk melakukan upacara ataupun membahas masalah-masalah ekonomi, politik dan lain-lain yang di hadapi oleh masyarakat Buton. Baruga juga digunakan sebagai tempat prosesi pelantikan para sultan. Merupakan bangunan panjang tanpa dinding yang berada tepat berhadapan dengan masjid, merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat dimana permasalahan-permasalahan di masa kesultanan diuraikan dan diselesaikan secara bersama. Fungsi tersebut masih berlaku hingga saat ini, seminar-seminar kebudayaan juga kerap dilangsungkan di baruga. Bentuk baruga yang dibangun oleh pemerintah sekarang tidak sesuai dengan konsep arsitektur baruga yang seharusnya, terutama pada bentuk atap serta desain lantai. Hal ini dikarenakan kurangnya riset serta pemahaman tentang konservasi.
Foto Baruga Kesultanan Buton (Sumber: Nur Ahsan 9 April 2020)
Bentuk baruga di zaman kesultanan menurut riwayat lisan orang-orang tua terdahulu bahwa atap baruga tidak beratap lapis seperti sekarang, karena atap lapis merupakan simbol dari kepemilikan Sultan seperti yang terlihat pada bentuk rumah-rumah sultan yang semuanya beratap lapis, sedangkan atap baruga cuma satu saja sebagai perwujudan kepemilikan bersama sesuai fungsinya sebagai tempat musyawarah dan berkumpulnya masyarakat. Selain bentuk atap, juga bentuk lantai yang saat ini menggunakan keramik serta menyatu dengan tanah, padahal seharusnya bentuk lantai baruga adalah berbentuk panggung. Perubahan besar yang terjadi pada baruga ini sempat menjadi alasan masyarakat di Kelurahan Melai untuk merubah beberapa bagian rumah tradisionalnya menjadi modern.
f. Masjid Agung Keraton
Mesjid Agung Keraton ini berukuran 20,6 x 19,40 m2, beratap seng. Dahulu atap mesjid ini dari daun nipah. Atap mesjid berbentuk limasan, disusun bertumpang dua. Tumpang dua pada mesjid melambangkan bumi dan langit. Atap bagian atas dan atap bagian bawah dihubungkan dengan dinding kayu berbentuk bujur sangkar. Selain dua atap tumpang di atas, terdapat pula atap yang hanya dipasang sepanjang pintu masuk mesjid dan tangga. Atap yang dipasang di atas tangga dan pintu masuk mesjid keraton yang merupakan elemen arsitektur lokal (tangga beratap), tidak dapat disebut sebagai atap bertumpang karena hanya dibangun pada satu sisi saja.
Foto Mesjid Agung Keraton Buton (Sumber Nur Ahsan 9 April 2020)
Mesjid terdiri atas tiga lantai yang memiliki fungsi dan ukuran yang berbeda. Lantai satu merupakan ruang utama yang digunakan sebagai tempat sholat berjamaah, lantai dua difungsikan oleh pengurus mesjid sebagai tempat bermusyawarah, dan lantai tiga digunakan sebagai tempat mengumandangkan azan. Tinggi bangunan mesjid dari pondasi hingga puncak mesjid sekitar 15,80 meter. Di masa kesultanan, lantai atas digunakan sebagai tempat untuk mengumandangkan azan dan merupakan tempat yang difungsikan sebagai Menara pengawasan yang dapat melihat ke seluruh arah, baik laut maupun darat. Akan tetapi di masa sekarang, adzan dilakukan di lantai dasar. Bagian jendela di lantai atas digunakan untuk meletakkan pengeras suara sehingga adzan terdengar di daerah sekitarnya.
Masing-masing lantai dihubungkan dengan tangga kayu, yang terletak di sisi kanan mesjid, di dekat pintu mesjid. Di dalam mesjid terdapat maqsura, mimbar, dan bedug. Maqsura dikhususkan untuk Sultan Buton sebagai tempat beristirahat atau bersemedi. Selain itu, maqsura berfungsi sebagai tempat persembunyian bagi sultan ketika terjadi gangguan keamanan atau serangan musuh. Mimbar menggunakan konstruksi batu yang dibingkai dengan kayu dan ukiran-ukiran floral. Mimbar di mesjid ini memiliki lima anak tangga. Dari kelima anak tangga tersebut, hanya empat tangga saja yang boleh dinaiki. Hal ini melambangkan empat sahabat nabi, sedangkan tangga kelima adalah tempat Rasulullah..
Masjid Agung Keraton Buton adalah salah satu benda cagar budaya Indonesia. Masjid ini dibangun pada 1712 oleh Sultan Buton ke-19, Sultan Zaqiyuddin Darul Alam. Masjid berada di tengah-tengah kawasan dengan tiang bendera kesultanan masih berdiri utuh di sampingnnya, menjadi zona inti dan landmark kawasan Benteng. Terdapat 12 pintu masuk ke dalam masjid yang salah satu di antaranya berfungsi sebagai pintu utama. Pada bagian depan sebelah timur masjid, terdapat serambi terbuka Kayu yang digunakan untuk membangun masjid berjumlah 313 potong sesuai dengan jumlah tulang pada manusia. Jumlah anak tangga masuk masjid 17 buah, sama dengan jumlah rakaat salat dalam sehari. Bedug masjid yang berukuran panjang 99 cm dianalogikan dengan asmaul husna dan diameter 50 cm dimaknai sama dengan jumlah rakaat salat yang pertama kali diterima Rasulullah. Pasak yang digunakan untuk mengencangkan bedug tersebut terdiri dari 33 potong kayu yang dianalogikan dengan jumlah bacaan tasbih sebanyak 33 kali. Di depan pintu utama di antara dua selasar terdapat sebuah guci bergaris tengah 50 sentimeter dengan tinggi 60 sentimeter. Guci itu terhujam ke lantai semen berlapis marmer. Guci tersebut telah ditempatkan di situ sejak adanya masjid ini sebagai penampungan air untuk berwudu.
Adapun untuk ruang bagian dalamnya mampu menampung jamaah dengan panjang saf 13, dan 40 orang persafnya. Masjid tidak memilik plafon sehingga penghawaan udara langsung alami berasal dari sela-sela antara dinding dan atap. Di dalam masjid terdapat sebuah mihrab dan mimbar yang terletak secara berdampingan. Keduanya terbuat dari batu bata yang di bagian atasnya terdapat hiasan dari kayu berukir corak tumbuh- tumbuhan yang mirip dengan ukiran Arab.
g. Kasulana Tombi (Tiang Bendera Kesultanan)
Tiang bendera (kasulana tombi) dibuat dari kayu jati, didirikan bersamaan dengan pendirian mesjid Keraton Buton yaitu pada tahun 1712 dengan tinggi 21 meter. Tiang terdiri atas dua bagian yaitu tiang utama yang berukuran sekitar 11 meter dan tiang kedua (bagian atas) 10 meter. Tiang ini terdapat di sebelah utara mesjid dengan jarak sekitar 10 meter. Tiang bendera terdiri atas empat kayu penyangga dan satu kayu yang ditetak sebagai tangga, kayu-kayu tersebut berukuran sekitar 10 meter. Penahan tiang dan kayu penyangga terbuat dari besi yang melingkar pada kayu utama. Lingkaran utama besi ini digunakan sebagai penahan untuk menjaga keseimbangan tiang utama, sedangkan empat lingkaran luar berfungsi untuk menahan bagian ujung keempat kayu penyangga.
Di bagian tengah terdapat besi yang dilingkarkan pada tiang utama dan tiang kedua. Sebelum mencapai besi teresebut, terdapat kayu-kayu yang membujur, yang dilapisi dengan papan membentuk pola melingkar sebagai alas untuk tumpuan bagian dasar tiang kedua. Di bagian bawah papan tersebut terdapat empat kayu berbentuk siku. Tiang bendera itu didirikan tidak lama setelah masjid dibangun. Kayu yang digunakan untuk tiang bendera tersebut dibawa oleh pedagang beras dari Pattani, Siam. Dahulu setiap Jumat dipasang bendera kerajaan yang berwarna kuning, merah, putih, dan hitam di tiang tersebut.
Masjid Keraton tidak memiliki menara layaknya masjid-masjid pada umumnyaa, yang ada adalah tiang bendera yang berdiri disamping masjid. Kasulana Tombi merupakan salah satu simbol identitas dari kesultanan Buton yang menjadi tempat kibarkannya bendera kesultanan.
Tiang ini berdiri tepat di sebelah Masjid Keraton. Keberadaannya masih utuh dan bertahan, meski terlihat mulai sedikit miring. Didirikan pada abad ke-17 untuk mengibarkan Tombi (bendera) kerajaan Buton. Bahan dasarnya terbuat dari kayu jati dengan tinggi 21 M dari permukaan tanah yang berdiameter antara 25 cm hingga 70 cm. Fungsi utama tiang bendera ini adalah sebuah syarat utama sebuah kerajaan. Saat ini permukaan tempat pijakan tiang telah diberi perkerasan beton dan sekelilingnya dibiarkan bebas tanpa dipagari.
Foto Tiang Bendera (Sumber : Nur Ahsan 9 April 2020)
Nilai Sejarah dan Signifikansi Budaya pada Kompleks Benteng keraton Buton
Di jaman kerajaaan Buton bahwa kawasan Yaroana Masigi merupakan bagian dari obyek yang dijaga oleh sapati (para patih) sebagai bagian dari sara (aturan). Seperti disebutkan dalam undang-undang Kesultanan Buton (Niampe 2009), bahwa jenis-jenis sara yang di jaga sapati itu ada delapan yaitu: (1) kamali (Rumah Sultan) dan Masjid, (2) baruga dan pasar, (3) baluara (bastion) dan bedilnya, (4) batu pelantikan, (5) Pintu benteng dan kuncinya, (6) parit, (7) kapal dan bengkel pembutannya, (8) tiang bendera dan pos jaganya. Dari delapan jenis sara yang di jaga oleh sapati tersebut tiga diantaranya berada diarea Yaroana Masigi. Ketiga obyek tersebut adalah Masjid Agung Keraton, baruga, dan kasulana tombi (tiang bendera kesultanan). Tiga obyek ini dianggap sebagai simbol bahwa kesultanan menjunjung tinggi agama, musyawarah, dan wibawa negara yang masing-masing disimbolkan dalam obyek fisik bangunan tersebut.
Nilai sejarah pada ruang publik Benteng Keraton Buton
Obyek |
Tahun |
Nilai Sejarah |
Batu Popaua |
Abad ke 13 M |
Sudah digunakan sebagai batu pelantikan para raja dan |
|
|
sultan Buton. |
Halaman |
|
Halaman tempat orang berkumpul untuk kegiatan ritual adat, |
Yaroana |
Abad ke 13M |
budaya, dan prosesi pelantikan Sultan |
Batu Wolio |
|
Batu tempat mengambil air untuk mandi para sultan yang |
|
Abad ke 14 M |
dilantik. |
|
|
Merupakan batu petirtaan raja-raja Buton. |
Makam Sultan |
|
Makam Raja Buton ke VI dan merupakan Sultan Buton |
Murhum |
1584 M |
Pertama |
|
|
Ruang musyawarah dibangun pada masa kepemimpinan |
Baruga |
|
Sultan Dayanu Ikhsanudin.Merupakan salah satu yang |
|
1610 M |
disebutkan dalam Undang-undang Martabat tujuh untuk dijaga |
|
|
Dibangun oleh Sultan Buton ke-19, Sultan Zaqiyuddin Darul |
Masjid Agung |
1712 M |
Alam. Masjid pertama di tanah Buton, bagian dari identitas |
Keraton |
|
kesultanan. Merupakan salah satu yang disebutkan dalam |
|
|
Undang-undang Martabat tujuh untuk dijaga |
Kasulana |
|
Masjid Agung Keraton tidak memiliki menara masjid seperti |
Tombi (Tiang |
|
masjid umumnya, sebaliknya berdiri tiang bendera kesultanan |
Bendera kesultanan) |
1712 M |
Merupakan salah satu yang disebutkan dalam Undang-undang Martabat tujuh untuk dijaga |
Karakteristik Non Fisik Ruang Publik Benteng Keraton Buton
Ruang publik Benteng Keraton Buton atau Yaroana Masigi berhubungan dengan persoalan makna. Ruang Yaroana Masigi dapat dibaca secara kontekstual atau diiterpretasi maknanya berdasarkan sejarah terbentuknya, fungsinya, serta elemen-elemen pembentuknya. Proses pemaknaan dalam konteks pelestarian seperti disebutkan dalam piagam Burra (1999) adalah bagaimana sebuah tempat dapat mengartikan, mengindikasikan, membangkitkan atau mengekspresikan sesuatu. Dari hasil penjabaran sebelumnya ditemukan bahwa terdapat karakteristik intangible pada ruang publik Yaroana Masigi berupa makna-makna sebagai berikut.
a. Bermakna Kekuasaan (Identitas Kerajaan)
Konsep Yaroana Masigi tidak jauh berbeda dengan konsep alun-alun yang banyak ditemukan di Jawa. Hal ini tidak mengherankan dikarenakan hubungan kerjasama Kerajaan Buton dan Kerajaan Majapahit yang telah lama berlangsung. Bukti-bukti hubungan baik itu ada pada salah satu sudut pintu benteng keraton yang bernama Lawana Waborobo yang mirip dengan bentuk candi bentar di Jawa, lalu payung yang digunakan dalam proses pelantikan merupakan payung hadiah dari Raja Majapahit. Karakteristik alun-alun pada keraton Yogyakarta juga memiliki kesamaan dengan dengan Yaroana Masigi, yaitu sama-sama berasosiasi pada kesultanan, terletak berhadapan dengan masjid, dipergunakan untuk aktifitas kerajaan, dan bersifat publik.
Yaroana Masigi merupakan ruang yang sangat penting bagi alur ritual pelantikan sultan. Tidak hanya ruang kosongnya tapi juga bangunan dan situs yang terdapat dalam area Yaroana Masigi juga ikut berperan dalam membangun karakter ruang yang memiliki hubungan erat dengan penguasa. Mulai dari batu wolio yang dipergunakan untuk tempat memandikan calon sultan, Masjid Agung Keraton tempat sultan diberkati, batu popaua tempat sultan memijakkan kakinya untuk dilantik, serta baruga tempat dimana masyarakat dapat memberi doa dan selamat kepada sultan. Semua alur tersebut cukup menjelaskan hubungan Yaroana Masigi dengan pemimpin/penguasa.
b. Bermakna Religi
Rapoport dalam Ultra 2015, mengungkapkan bahwa masyarakat tradisional selalu terkait dengan hal- hal yang bersifat religius, agama dan kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah permukiman tradisional. Berbicara Yaroana Masigi tidak dapat dipisahkan dari Masjid Agung Keraton dan fungsinya sebagai tempat ibadah muslim. Makna religi tidak hanya tercermin pada berbagai aktivitas keagamaan yang diwadahinya, namun juga pada pemaknaan lokasinya yang berada ditengah-tengah kawasan Benteng Keraton dianggap merepresentasikan inti/alam batin manusia, dimana hal-hal yang bersifat religius menjadi inti dari kehidupan manusia.
c. Bermakna Kosmologis
Konsep kosmologis orang Buton meyakini bahwa alam dunia dan alam semesta adalah hal-hal yang berada diluar Benteng Keraton Buton, sedangkan Yaroana Masigi mewakili alam batiniah, dan Benteng Keraton sebagai pelindung dari alam batin tersebut. Seperti filosofi telur dimana keberadaan isi telur terlndungi oleh cangkang telur. Konsep kosmologis ini banyak dipengaruhi oleh pemahaman sufi dalam Islam yaitu pemahaman menuju kesempurnaan batin.
Peran Pemerintah dan Masyarakat Saat Ini dalam Pelestarian Area Publik Benteng Keraton Buton
Seperti sudah sempat disinggung pada pembahasan sebelumnya terkait kondisi fisik, bahwa peran pemerintah terhadap kondisi fisik Yaroana Masigi diantaranya terkait pemeliharaan kondisi fisik obyek di area Yaroana Masigi. Cukup terpeliharanya obyek pada Yaroana Masigi adalah bukti bahwa pemerintah setempat melalui dinas pariwisata dan budaya cukup mengantisipasi kerusakan yang bersifat fisik pada obyek, seperti dengan membuat pagar pembatas pada area sekitar batu wolio dan batu popaua. Serta pembuatan akses jalan menuju makam, yang memudahkan para peziarah untuk berkunjung, dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya bahwa kondisi akses tersebut ada yang berada dalam kondisi tidak baik. Dalam hal ini pemerintah sudah melakukan tugasnya hanya saja minim kontrol.
Semangat konservasi yang dilakukan pemerintah terhadap fisik obyek di area Yaroana Masigi juga cukup baik namun tidak diimbangi dengan riset serta keterlibatan masyarakat atau orang yang ahli. Hal ini terlihat pada renovasi baruga, yang kemudian diketahui menyalahi konsep arsitektur baruga yang seharusnya. Perubahan-perubahan yang sifatnya esensial di area Yaroana Masigi sebisa mungkin dihindari karena segala bentuk perubahan fisik menjadi legitimasi bagi rumah-rumah tradisional adat lainnya untuk ‘boleh’ berubah. Inilah mengapa Yaroana Masigi perlu dijaga dari hal-hal yang merusak dalam bentuk fisik maupun makna.
Peran pemerintah dan masyarakat dalam pelestarian non fisik pada area Benteng Keraton Buton terlihat pada event budaya yang berlangsung di area public benteng keraton Buton atau Yaroana Masigi. Kegiatan masyarakat tersebut didukung penuh oleh pemerintah dan menjadi event rutin. Dalam pelestarian yang bersifat budaya, sinergi dan peran serta pemerintah beserta masyarakat cukup baik.
|
Nama | Info | Kontak |
---|---|---|
Dr. Syahrun | Jurusan Arkeologi Universitas Halu Oleo | syahrun_antro@yahoo.com |
Sketsa Ultra Pelangi, ST., MT. | Peneliti dan Penulis Pelestarian Kawasan Peninggalan Kesultanan Buton Di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. | |
Dr. La Ode Abdul Munafi, M.Si | Budayawan, dan AKADEMISI UNIDAYAN BAUBAU |