Kondisi/informasi umum:
Kabupaten Gianyar membentuk wilayah pertanian dengan panorama yang indah, dimana banyak jenis tanaman bisa dikembangkan di wilayah ini. Selain itu, Kabupaten Gianyar kaya dengan peninggalan bersejarah dan terkenal akan kreativitasnya yang tinggi dalam bidang seni dan budaya, yang merupakan aset berharga.
Kehidupan masyarakat Gianyar sebagaimana masyarakat Bali pada umumnya dahulu sangat didominasi oleh kehidupan agraris berdasarkan sistem pertanian tradisional yang disebut Subak. Tidak hanya merupakan organisasi petani, namun juga melingkupi sumber air, bendungan, tata kelola air, pura dan beragam upacara adat yang terkait dengan setiap tahapan dalam kegiatan di lahan pertanian.
Subak adalah sebuah kata dalam Bahasa Bali, yang pertama kali muncul dalam prasasti kerajaan Sukawana dari abad ke-11. Subak mengacu pada organisasi sosial budaya yang unik, swadaya, kelompok petani yang demokratis dalam berbagi tanggungjawab pengelolaan sistem irigasi.
Wujud Konsep Tri Hita Karana dalam Subak sejatinya adalah aspek teknis yang diterapkan dalam sistem subak untuk mengelola sistem organsasi dan sistem irigasinya, yang disesuaikan dengan aspek sosial yang berkembang di kawasan tersebut. Subak di Bali dapat juga dipandang sebagai suatu teknologi yang telah berkembang menjadi budaya masyarakat setempat, atau suatu teknologi yang sudah sesuai dengan fenomena budaya masyarakat setempat (Poespowardojo, 1993). Karena sistem subak dapat dianggap sebagai suatu sistem kebudayaan (teknologi yang sudah menjadi budaya masyarakat), maka elemenelemennya dapat dikaji berdasarkan subsistem pola-pikir/nilai, subsistem sosial, dan subsistem artefak/kebendaan.
Subak diakui oleh UNESCO pada tahun 2012 sebagai Saujana Pusaka Dunia yaitu ‘Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy’. Saat ini Subak menghadapi beberapa masalah dalam hubungan dengan perubahan internal dan eksternal seperti perubahan gaya hidup, urbanisasi, pendapatan petani yang rendah, menurunnya ketersediaan air di beberapa pengembangan wilayah, ekonomi dan pariwisata yang mendorong alih guna lahan. Sistem tradisional dan sistem hukum formal perlu bekerja sama untuk menegakkan perencanaan dan pelaksanaan.
Sejarah:
Prasasti Sukawana (Kintamani, Bangli) tahun 882 menyebutkan lahan pertanian huma (sawah) dan perlak (ladang), sementara Prasasti Klungkung tahun 1071 dan Prasasti Pandak Bandung (Tabanan) tahun 1072 telah menyebutkan istilah Seuwak yang akhirnya dikenal sebagai Subak.
Elemen-elemen Saujana:
Saujana Pusaka Subak meliputi elemen sebagai berikut:
Nilai penting/signifikansinya:
Seperti dikemukakan di depan bahwa sistem subak berlandaskan Tri Hta Karana. Dalam konsep sistem kebudayaan, manifestasi Tri Hita Karana yang melandasi sistem subak adalah analog dengan sistem kebudayaan. Parhyangan analog dengan sistem pola pikir/ nilai/konsep, pawongan analog dengan subsistem sosial, dan palemahan analog dengan subsistem artefak/kebendaan.
Pertama, dalam aspek parhyangan/subsistem pola-pikir, kegiatan yang dilakukan subak adalah berkait dengan pelaksanaan upacara, kebersamaan/harmoni, kepercayaan adanya kekuatan spiritual yang ikut mengontrol/ mengawasi pelaksanaan kegiatan di kawasan subak, dll. Kedua, dalam aspek pawongan/ subsistem sosial, kegiatan yang dilakukan subak adalah mengatur organisasinya agar sesuai dengan kondisi lokal, adanya sanksi sosial bagi pelanggar aturan subak, adanya awig-awig subak, adanya kerjasama dalam pemanfaatan air irigasi, adanya pelaksanaan gotong-royong, dll. Ketiga, dalam aspek palemahan/subsistem artefak (kebendaan), kegiatan yang dilakukan subak adalah membagi air irigasi secara proporsional, adanya sistem one inlet and one outlet, membangun bangunan suci pada kawasan tertentu yang dianggap rawan konflik, dll. Harus dicatat bahwa semua kegiatan subak tersebut, bertujuan dan menuju pada harmoni dan kebersamaan, sesuai dengan hakekat Tri Hita Karana tersebut. Kajian di atas (yakni melalui kajian dari aspek pola pikir/nilai/konsep, aspek sosial, dan aspek artefak/kebendaan) dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk mengkaji organisasiorganisasi yang menyebut dirinya dengan sebutan “subak”.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegiatan yang dilakukan pada sistem subak adalah kegiatan-kegiatan yang analogis dengan implementasi dari kebudayaan Bali. Sementara itu sistem subak pada hakekatnya adalah salah satu wujud dari sistem kebudayaan Bali. Wajarlah kalau disebutkan bahwa eksistensi subak dengan segala kegiatan yang dilakukan adalah suatu wujud untuk melestarikan kebudayaan Bali. Persoalannya saat ini adalah bagaimana caranya agar sistem subak di Bali tetap dapat eksis dalam rangka melaksanakan dharmanya melestarikaan kebudayaan Bali.
Nama | Info | Kontak |
---|---|---|
Catrini Kubontubuh | Badan Pelestarian Pusaka Indonesia | balikuna@yahoo.com |
Prof. Wayan Windia | Kepala Pusat Kajian Subak, Universitas Udayana | wayanwindia@ymail.com |
Dr. I Gede Sedana | Rektor Universitas Dwijendra | gedesedana@gmail.com |